Halitu senada dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Al Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin bahwa kematian bukan sekedar sesuatu yang menakutkan, namun di dalamnya terdapat potensi yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam bahaya. Potensi bahaya itu akan muncul jika manusia tidak pernah memikirkan sedikit pun tentang hakikat kematian itu sendiri.
Rasulullah ๏ทบ bersabdaู
ููู ููุฑูุฏู ุงูููู ุจููู ุฎูููุฑูุง ููููููููููู ูููู ุงูุฏูููููู ููููููููู
ููู ุฑูุดูุฏูููโOrang yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan dipandaikan di dalam urusan agama dan ia akan diberi ilham petunjuk kebenaran oleh Allahโ HR. al-BukhariItulah sabda Baginda Nabi Muhammad ๏ทบ dalam menjelaskan betapa ilmu agama penting bagi kehidupan manusia. Dari hadits di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang diberi pemahaman tentang ilmu agama maka ia akan meninggal dalam keadaan husnul khatimah, sebagai bentuk pembuktian akan kebenaran sabda Nabi ilmu agama dalam kehidupan manusia tak ubahnya seperti pengaruh makan dan minum bagi mereka. Imam al-Ghazali, di dalam kitab Ihyรขโ Ulรปmid Dรฎn menyampaikan betapa pentingnya ilmu bagi hati seorang manusia. Di sana, beliau menyitir dawuh dan pernyataan sebagian ulama. Beliau berkataูุงู ูุชุญ ุงูู
ูุตูู ุฑุญู
ู ุงููู ุฃููุณ ุงูู
ุฑูุถ ุฅุฐุง ู
ูุน ุงูุทุนุงู
ูุงูุดุฑุงุจ ูุงูุฏูุงุก ูู
ูุชุ ูุงููุง ุจูู. ูุงู ูุฐูู ุงูููุจ ุฅุฐุง ู
ูุน ุนูู ุงูุญูู
ุฉ ูุงูุนูู
ุซูุงุซุฉ ุฃูุงู
ูู
ูุชโDi hadapan para muridnya Fath al-Mushili rahimahullah berkata, Bukankah akan mati jika ada orang sakit yang tidak mendapatkan makan, minum, dan obat ?โ Mereka pun menjawab, โIya benar, akan mati.โ Begitu juga hati, ketika tidak mendapatkan hikmah dan ilmu selama tiga hari, maka hati akan mati,โ lanjut beliau.โImam al-Ghazali membenarkan apa yang dikatakan Fath al-Mushili. Karena sesungguhnya makanan hati adalah ilmu dan hikmah. Dengan keduanyalah hati bisa hidup. Sebagaimana badan akan hidup jika makan. Tidak mendapatkan ilmu menyebabkan hati seseorang dalam keadaan sakit dan pasti akan mati, meskipun ia tidak dunia dan kesibukan duniawi bisa membuat orang tidak merasakan hal tersebut. Sebagaimana kondisi sangat ketakutan atau mabuk, red akan bisa โmenghilangkanโ sakitnya luka yang berat. Kemudian, ketika kematian telah melenyapkan urusan-urusan duniawi dari dirinya, maka baru dia merasakan bahwa dirinya dalam keadaan rusak dan baru dia sangat menyesal. Penyesalan pascakematian ini tentu tidak ada gunanya lagi. Sama seperti orang yang sudah aman dari ketakutannya atau orang yang sudah sadar dari mabuknya, ia baru merasakan luka-luka yang ia alami saat mabuk atau saat kita berlindung kepada Allah ๏ทป dari hari terbukanya tirai semua amal. Karena sesungguhnya manusia masih dalam keadaan tertidur. Ketika meninggal dunia, maka mereka baru terbangun dari tidurnya. Imam Muhammad al-Ghazali, Ihyรขโ Ulรปmid Dรฎn, Beirut, Dar al-Fikr, juz I, halaman 8Terdapat berbagai pemahaman di kalangan para ulama terkait dengan maksud dari kata al-hikmah yang tercantum di dalam Al-Qurโan seperti firman Allah ๏ทปููุคูุชูู ุงููุญูููู
ูุฉู ู
ููู ููุดูุงุกู ููู
ููู ููุคูุชู ุงููุญูููู
ูุฉู ููููุฏู ุฃููุชููู ุฎูููุฑูุง ููุซููุฑูุง ููู
ูุง ููุฐูููููุฑู ุฅููููุง ุฃููููู ุงููุฃูููุจูุงุจู โAllah memberikan hikmah kepada orang yang Ia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak menerima pengingat kecuali orang-orang yang memiliki akal sempurna.โ QS Al-Baqarah 269Baginda Nabi Muhammad ๏ทบ juga pernah bersabdaุงููุญูููู
ูุฉู ููู
ูุงูููููุฉูโHikmah adalah Yaman.โ HR. at-TirmidziAda yang berpendapat maksud dari al-hikmah adalah amal. Ada juga yang berpendapat maksudnya adalah setiap sesuatu yang mencegah dari perbuatan bodoh dan perbuatan jelek. Dan masih banyak lagi pendapat ulama tentang maksud dari kata al-hikmah. Muhammad ibn Qasim ibn Muhammad ibn Zakur al-Fasi, Zuhr al-Akam fi al-Amtsal, halaman 7 Terkait tentang maksud dari kata al-hikmah ini, al-Ghazali berkata di dalam kitab Ihyรขโ-nyaููุนูู ุจุงูุญูู
ุฉ ุญุงูุฉ ููููุณ ุจูุง ูุฏุฑู ุงูุตูุงุจ ู
ู ุงูุฎุทุฃ ูู ุฌู
ูุน ุงูุฃูุนุงู ุงูุงุฎุชูุงุฑูุฉโYang saya kehendaki dengan kata al-hikmah adalah kondisi hati yang bisa menjadi sarana mengetahui yang benar dan yang salah dalam semua perbuatan yang kita pilih. Imam Muhammad al-Ghazali, Ihyรขโ Ulรปmid Dรฎn, Beirut, Dar al-Fikr, juz III, halaman 3Wallahu aโlam. Moh. Sibromulisi
G Hakikat manusia menurut Imam Al-Ghazali Secara filosofis, memandang manusia berarti berpikir secara totalitas tentang diri manusia itu sendiri, struktur eksistensinya, hakikat atau esensinya, pengetahuan dan perbuatannya, tujuan hidupnya, dan segi-segi lain yang mendukung, sehingga tampak jelas wujud manusia yang sebenarnya.
Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free HAKIKAT ILMU DALA M PERSPEKTIF AL-GHAZALI Y u s l i y a d i Yusliyadi Abstrak Dalam dekade terakhir ini, usaha pengkajian dan pengembangan ilmu pengatahuan dari waktu kewaktu semakin bertambah meningkat, terutama karena adanya kaitan dengan kecendrungan yang semakin tumbuh terhadap pemahaman dan penafsiran ajaran Islam secara rasional. Selain itu juga karena adanya keinginan untuk lebih memperkenalkan khazanah intlektual dan spiritual para cendikiawan muslim masa lampau sebagai suatu sisi lain dari pusaka budaya yang mereka wariskan. Salah satu diantaranya adalah Imam Al-Ghazali yang dikenal dengan gelar hujjatul islam, seorang ulama dan pemikir besar dalam dunia islam yang sangat produktif dalam menulis. Kitab-kitab yang ditulis Al-Ghazali meliputi berbagai bidang ilmu pada zaman itu, seperti Al-Quran, Akidah, ilmu kalam, ushul fikh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan Batiniyah dan lain-lain. Adapun karya yang sangat menumental dan sekaligus membuatnya sangat dominan pengaruhnya dalam pemikiran ummat adalah Tahafut Al-Falsafah, Ihyaโ ulumu ad-Din dan al-Munqidz minaโ Dh-Dhalal. Al-Ghazali adalah seorang pemikir besar dalam sejarah pemikiran islam, beliau adalah seorang ahli hukum fikh, filosof dan sufi, dalam pemikiran Al-Ghazali mengakui fase-fase yaitu fase sebelum uzlah, masa uzlah dan sesudah uzlah. Usaha Al-Ghazali dengan sifat kritis beliau berusaha untuk mencari pengatahuan dan kebenaran hakiki termasuk mencari hakikat ilmu. Oleh karena dia memutuska untuk mencari kebenaran yang pasti dimana obyek yang diketahui dalam suatu cara tertentu yang sama sekali tidak memberikan peluang bagi masuknya keraguan, oleh karena itu beliau membagi ilmu menjadi dua. Ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai produk. Al-Ghazali adalah penegak tasawuf baru yang mengkompromikannya dengan fiqih dan teologi. Ketiga bidang itu sebelumnya merupakan bidang-bidang yang tidak pernah bisa bertemu, bahkan dipandang saling bertentangan satu sama lain. Kata kunci Ilmu, Al-Ghazali. A. Pendahuluan Ilmu merupakan hal penting dalam islam. Ia merupakan kebutuhan utama bagi manusia dalam mengemban peran sebagai kholifah di muka bumi ini, tanpa ilmu musthail seorang manusia mampu melangsungkan kehidupan sehari-hari didunia ini dengan baik. Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, seseorang itu hendaklah mempunyai ilmu dan kemudian wajib untuk diamalkan dengan baik dan ikhlas. Keutamaan ilmu tersebut sebenarnya adalah peluang manusia untuk mendapatkan drajat yang lebih baik, dengan dapat menzahirkan existensi manusia itu sendiri. Sedangkan pada hakekatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetehuan, karena sebelumnya manusia lebih banyak berfikir menurut gagasan-gagasan magis dan mitologis yang bersifat gaib dan tidak rasional. Dengan cetusan revolusi ilmiah itulah manusia pun mulai sadar bahwa dunia ini dengan segala fenomena-fenomena hidup dan kehidupan di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan obyektif yang dapat diamati dan di geluti secara sistematis dan rasional. Sejak abad ke-17, ilmu pengetahuan empiris berkembang dengan pesat, namun perkembangan itu juga membawa dampak negatif, yaitu dengan mundurnya refleksi filosofis ilmu. Metode ilmu eksekta seringkali diterapkan secara tidak relevan pada bidang penyelidikan yang sebenarnya memerlukan metode yang khas. Akhirnya alternatife dalam metodologi untuk mengimbangi pendekatan timpang emperistis-positivistis yang cenderung luput menangkap dimensi penghayatan manusia. Dalam kenyataannya makin banyak manusia, semakin banyak pula pertanyaan dan problematka keilmuan yang menyelimutinya. Manusia ingin mengetahui darimana dan bagaimana proses munculnya ilmu pengetahuan asal mula akunya sendiri, perihal nasibnya, perihal kebebasannya serta kemungkinan-kemungkinan. Orangpun semakin tidak puas dengan ilmu yang ada dan mereka terus mencari apakah hakikat ilmu itu, untuk apa dan bagaimana orang agar sampai kepada ilmu. Hal inilah yang melatar belakangi munculnya filsafat sains yang bidang kajiannya tentu saja berbeda dengan kajian filsafat secara umum. Dengan argumen-argumen di atas manusiapun menyadari bahwa sains modern bukanlah satu-satunya pilihan mencari jawaban dari setiap pertanyaan keilmuan yang muncul. Dengan paradigma yang berbeda dapat diciptakan sains yang berbeda yang mungkin lebih membahagiakan manusia. Sejarah sains juga telah membuktikan dalam peradaban Mesir, Cina dan Islam sendiri pernah ada suatu sistem pengetahuan yang mampu memenuhi kebutuhan manusia-fisik, mental, dan spiritual dengan bersandar pada paradigma yang diyakini kebenarannya yang telah terbukti di mulailah gerakan pencarian alternatif-alternatif hakikat ilmu itu. B. Al-Ghazali dan Latar Belakang Kehidupannya Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, lahir pada tahun 1059 di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di dekat arus khurasan. Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur kemudian ke khurasan yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid imam al-Haramain al-Juwaini Guru besar pada Madrasah al-Nizamain adalah keluarga pemintal benang Wol Ghazali Shuf. Pada masa kanak-kanak beliau belajar fiqh di Tus pada Imam Al-Razkani, kemudian beliau pindah untuk belajar teologi, logika dan filsafat di Naisabur. Ia kemudian memperdalam ilmunya pada Madrasah Nizamiyyat di Bagdad di bawah bimbingan Imam Haramain. Pada Madrasah ini al-Ghazali mengkaji berbagai ilmu pengetahuan. Ia kemudian di angkat sebagai pemimpin Madrasah tersebut setelah Gurunya meninggal dunia dan tetap di sana selama empat tahun. Ayahnya juga seorang sufi yang sangat waraโ dan meninggal ketika al-Ghazali berusia muda. Sebelum meninggal ia menitipkan al-Ghazali kepada sufi lain untuk memperoleh bimbingan. Untuk menambah pengalamannya al-Ghazali meninggalkan jabatannya sebagai Guru dan mengembara ke Siria, Mesir dan Mekkah, tetapi akhirnya kembali ke Naisapur selanjutnya ke Tus tempat kelahirannya. Di sanalah ia meninggal pada tanggal 14 jumadil Akhir pada tahun 505 H./9 januari 1111 M. Sebelum wafat yakni ketika beliau berada di Bagdad, ia selain mengajar juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah, kaum Islamiyah dan para filosof. Pada saat itu \pulalah al-Ghazali senantiasa di bayangi oleh keraguan-keraguan terhadap apa yang pernah di ikhtiarkan sehingga ia pun mengidap penyakit yang tidak bisa diobati, ia kemudiann meninggalkan pekerjaanya dan berangkat ke Damsyik. Di kota inilah Mahdi Ghulsyani, The holy Qurโan and the Science of Nature, diterjemahkan Agus Efendi dengan judul Filsafat Sains menurut Al-Qurโan, Bandung Mizan, 1991, 21. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1978, 41. Mahmud Qasim, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Maโrif, 1997, 38. Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1996, 97-98. ia memperoleh inspirasi dan membuka jalan baginya untuk memilih jalan ber-uzlah sebagai cara terbaik dalam menapaki kehidupan jalan uzlah inilah al-Ghazali akhirnya memperoleh berkas cahaya dari Tuhan yang menentramkan jiwanya. Dia menemukan jalan hidup yang ia yakini dan dirasakannya penuh dengan kedamaian, yakni tasawuf. Al-Ghazali tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi di samping tetap menghargai akal sebagai karunia Tuhan juga ada berupa nur yang dilimpahkan kepada hambanya yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran. Bagi al-Ghazali akal kadang kala menyeret seseorang kepada pemahaman yang menyesatkan apabila tidak di landasi iman yang kian hari semakin tekun beribadah dan berupaya untuk tidak terpengaruh dengan berbagai kesenangan duniawi dan segala tanda-tanda kebesaran. Ia bertahan dalam hidup dan dalam suasana yang serba kekurangan, larut dalam hidup kerohanian dan senantiasa mengutamakan kepentingan ukhrawi. Dialah orang pertama dalam filsafat sufistik dan tokoh pembesar pembela Aqidah Islam. Setelah berkhalawat di tanah suci dan memperoleh apa yang dia cari ia berusaha untuk menyumbangkan segenap tenaga dan pikirannya membela agamanya dari paham-paham Hakikat Ilmu Mengenai hakikat ilmu secara mutlak tidak dikaitkan dengan objek atau disiplin ilmu tertentu, para ulama islam atau para pakar berbeda pandangan apakah ia merupakan sesuatu yang daruri, a priori, yang dapat dikonsepsi sifatnya begitu saja sehingga tidak memerlukan definisi, atau nazari infrensial, tetapi sulit mendefinisikannya, melainkan hanya bisa lebih jelas dikonsepsi dengan analisis/klasifikasi dan contoh, atau nazari yang tidak sulit ulama Bayaniyyun mengakui sulitnya pendefinesian ilmu, sebab ternyata dikalangan mereka sendiri bermunculan aneka definisi dan masing-masing hanya membenarkan definisinya sendiri. Definisi-definisi terkuat adalah sebagai berikut. Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988, 166. Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta Bumi Aksara, 1991, 68. Endang Daruni Asdi & A. Husnan Aksa, Filsuf-Filsuf Dunia dalam Gambar, Yogyakarta Karya Kencana, Cet. I, 1981, 18. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung CV. Pustaka Setia, 2007, 89. 1. Definisi Ibnu Rusyd 520-595 H/ 1126-1198 M ๎๎พ๎๎ด๎๎๎๎ฟ๎ข๎ท๎๎๎ด๎๎๎๎๎๎ณ๎ฆ๎๎จ๎ง๎๎ ๎ท๎๎๎ฟ๎๎
๎๎ฌ๎๎ณ๎ฆ๎๎ถ๎ด๎ ๎ณ๎ฆ๎๎๎ข Artinya Sesungguhnya ilmu yaqini adalah mengetahui sesuatu sebagaimana realitasnya Definisi Ibnu Hazm 384-456 H/ 924-1064 M ๎๎ฟ๎๎ถ๎ด๎ ๎ณ๎ฆ๎๎บ๎ฌ๎๎ซ๎๎๎พ๎๎ด๎๎๎๎ฟ๎ข๎ท๎๎๎ด๎๎๎๎๎๎ณ๎ฆ Artinya Ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana ralitasnya Definisi Juwaini 419-478 H dan Baqilani keduanya dari Asyโariyah, dan Abu Yaโla dari Hanabilah sebagai berikut ๎ณ๎ฆ๎๎จ๎ง๎๎ ๎ท๎๎ถ๎ด๎ ๎ณ๎ฆ๎ฟ๎๎ด๎ ๎๎๎๎ฟ๎ข๎ท๎๎๎ด๎๎พ๎ฅ๎ Artinya Ilmu adalah mengatahui objek ilmu sesuai Definisi Muโtazilah ๎๎๎๎ฟ๎๎พ๎ฅ๎๎๎ฟ๎๎ข๎ท๎๎๎ด๎๎๎๎๎๎ณ๎ฆ๎๎ฎ๎ข๎ฌ๎ฌ๎๎ค๎๎๎ท๎๎๎๎๎๎ป๎๎๎ข๎๎จ๎ฐ๎๎๎๎๎๎ซ๎๎๎ฆ๎ฏ๎ค๎๎๎๎พ๎ฌ๎ฌ๎ ๎
ญ๎ฆ๎๎
๎ฆ๎๎๎จ๎ผ๎ณ๎ฆ๎๎
๎๎๎ซ Artinya Ilmu adalah mengitikadkan mempercayai sesuatu sesuai dengan kenyataannya disertai ketenangan dan ketetapan jiwa padanya bila ia muncul secara daruri atau nazari. Seperti dirumuskan Abd. Al-Jabbar bahwa Ilmu adalah ๎๎ค๎ด๎ฌ๎ณ๎ฆ๎๎จ๎ผ๎๎ป๎ ๎ข๎ธ๎๎๎๎ฐ๎พ๎๎ณ๎ฆ๎๎ฒ๎ด๎ฏ๎๎๎๎จ๎ผ๎ณ๎ฆ๎๎๎๎ฐ๎๎๎๎๎ฌ๎ฌ๎๎๎ข๎ท Artinya Apa yang menghasilkan ketenangan jiwa, kesejukan dada, dan ketentraman Definisi para filosof kuno ๎๎๎ ๎๎๎ณ๎ฆ๎๎๎ข๎ฏ๎๎ ๎ฆ๎๎๎๎บ๎ฟ๎๎ณ๎ฆ๎๎พ๎๎พ๎ซ๎ฐ๎๎๎๎ธ๎ข๎ฆ๎๎ป๎๎ข๎๎๎ฒ๎ฌ๎ ๎ณ๎ฆ๎๎๎พ๎ณ๎๎๎๎๎ณ๎ฆ๎๎จ๎ฐ๎๎๎๎พ๎๎๎ท๎๎พ๎ป๎๎ ๎ญ๎๎๎ข๎๎๎๎ณ๎๎ฟ๎ข๎ข๎๎ด๎ฏ๎๎ข๎ท๎๎ด๎ ๎ท๎๎ข๎๎ฆ๎ฎ๎๎ณ๎๎ท Artinya Ilmu adalah terhasilkannya gambar sesuatu pada akal, sama saja apakah sesuatu itu merupakan universal atau partikuler, baik ada maupun Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Bairut Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993, 296. Ibn Hazm, Ali Ibn Ahmad, Al-Ihkam fiUsul al-Ahkam,BairutDar Al-Kutub al-Ilmiyah, 38. Al-Juwaini, Al-Irsyad, Mesir Matbaโah al-Madani, 1983, 12-13. Ibid., 14. 6. Definisi Asy-Syaukani w. 1255 H, dari family Zaidi yang didukung Qannuji, sebagai berikut ๎ถ๎ด๎ ๎ณ๎ฆ๎๎๎ข๎ท๎ซ๎๎ข๎ง๎ข๎๎ฐ๎ป๎ฆ๎๎ง๎๎ด๎๎
ญ๎ฆ๎๎ข๎๎๎ฆ๎๎ฐ๎ผ๎๎๎จ๎จ๎ Artinya Ilmu adalah sifat yang dengannya apa yang dicari terbuka secara sempurna. 7. Sedangkan Eko Ariwidodo Dosen tetap mata kuliah ilmu logika, filsafat ilmu, dan hermeneutika di TBI IAIN Madura, berasumsi bahwa ilmu atau sains itu hanya berurusan semata-mata dengan fakta tidak mendapat dukungan dari praktek sains itu beberapa pandangan tentang pengertian ilmu diatas Al-Ghazali berpendapat bahwa makna lebih penting ketimbang lafazh, oleh karena itu Al-Ghazali menguraikan tiga definisi tentang ilmu tersebut, yaitu definisi esensial haqiqi, definisi formal-differensial rasmi, dan definisi redaksional-eksplanatif lafzi. Karena fungsi dan tujuan difenisi adalah memperjelas apa yang belum jelas, ia hanya diperlukan untuk mengonsepsi sesuatu yang tidak dapat dikonsepsi secara a priori seperti satuan makna simple. Ia tidak menegaskan apakah pengonsepsian hakikat ilmu itu a priori atau inferensial, tetapi ditegaskannya bahwa hakikat ilmu sulit didefinisikan secara hakiki, baik karena esensi, fungsi dan persyaratan definisi sendiri, maupun karena pendifenisian hakikat ilmu selalu terkait dengan konsep ontologis pembuatnnya. Dan bagi Al-Ghazali, ilmu secara subtansial hanya satu tidak ada pemisahan pada ilmu lahir dan ilmu batin, kecuali dari segi itu, menurutnya dan menurut Al-Juwaini, pengonsepsian hakikat ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi untuk memproleh makna formal, dan dengan contoh untuk memproleh makna esensial. Dengan analisis ilmu berbeda dengan iradah kehendak, qudrah kemampuan dan sifat jiwa lain, Dan berbeda dengan Iโtiqad presuposisi, zann dugaan kuat, syak skeptik, jahl ketidak tahuan dan apa yang diperoleh bukan dengan pembuktian dan berawal dari skeptik. Jika ilmu dengan syak dan zann karena pada dua yang terakhir tidak dapat Jaโfar Al-Sahbani, Nazariyyat al-Maโrifah Bairut al-Dar Al-Islamiyah, 1990, 20. Eko Ariwidodo, Pradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genitika, ejournal Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, Bairut Dar al-Fikr, jld. I, 145. kepastian jazm ia berbeda dengan Iโtiqad dalam arti memastikan lebih dahulu satu dari dua alternatif dalam posisi yang sebenarnya posisi skeptik, disertai tasawwuf bersitegguh padanya tanpa menyadari kemungkinan benarnya alternatif lain. Iโtiqad dalam arti ini, presuposisi sekalipun sesuai denga realitas objek substansinya sendiri merupakan salah satu bentuk jahl kebodohan, maskipun dari sudut relasinya dengan objek bisa berbeda dengan jahl, yakni bila sesuai dengan realitas objek. Dengan demikian hakikat ilmu tidak cukup hanya dengan sesuianya kepercayaan atau pernyataan denga realitas objek, tapi juga mengenai ilmu infrensial, harus berdasarkan metode ilmiah tertentu yang berpangkal pada skeptik dan putusan itu merupakan keyakinan yang pasti. Metode analitik dengan ketiga kriteria ilmu menyangkut aspek aspek ontologies, epistimologis dan aksiologis yang diajukan Al-Ghazali dan inilah yang diikuti dan dirumuskan Ar-Razi bahwa ilmu adalah putusan akal yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah mujib menurutnya ada dua jalan untuk memperoleh ilmu, yaitu jalan a prori yang berupa akala a priori badihat al-aql dan empiri sensual dasar awaโil al-hasisi, dan penalaran berdasarkan premis-premis yang berakar palan a priori. Akan tetapi, ia mengakui bahwa ilmu diperoleh pula dengan dengan cara mengikuti orang yang diperintahkan Alloh untuk diikuti, maskipun bukan ilmu a priori dan tanpa argument, sehingga yang mengiktikadkan dan menyatakan sudah memiliki ilmu dan maโrifah mengenai objek tersebut. Karena pernyataan yang pasti dari subjek selain Nabi tentang wahyu yang diterima Nabi dan sesuai dengan realitas wahyu dan Nabi sendiri berdasarkan metode ilmiah tersebut juga disebut ilmu, sedangkan yang yang tanpa argument adalah Iโtikad, dan yang tidak pasti adalah zann atau Al-Ghazali, ada tiga macam tasdiq assent secara gradual. Pertama zann dugaan kuat, yaitu kecondongan jiwa kepada salah satu dari dua perkara dengan mengakui kemungkinan sebaliknya, tetapi kemungkinan ini tidak menghalangi kecondongan pada yang pertama. Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, 133. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, 97. Kedua Iโtiqad jazim kepercayaan yang teguh/tetap, yaitu tasdiq yang pasti, yaitu seseorang tidak ragu dan tidak merasa adanya kemungkinan benar pada kepercayaan lain. Akan tetapi, bila kepercayaan sebaliknya itu diriwayatkan secara kuat dari manusia yang paling pintar dan terpercaya disisinya, seperti Nabi, hal itu menimbulkan keragua tertentu terhadap kepercayaannya. Inilah kepercayaan yang mayoritas kepercayaan mayoritas masyarakat awam dari kalangan muslimin, yahudi dan nashrani mengenai doktrin-doktrin keagamaan dan mazhabnya bahkan mayoritas kepercayaan ahli kalam mengenai doktrin-doktrin keagamaan dan argument-argumen dialektik atau apologetiknya yang mereka terima berdasarkan prasangka baik dan popularitas tokoh-tokohnya, serta penulakan secara a priori terhadap mazhab lain dan dibesarkan dalam tradisi ini sejak masa kanak-kanak. Ketiga ilmu yaqini, yaitu tasdiq yang kebenarannya diyakini secara pasti, disertai keyakinan yang pasti pula bahwa keyakinannya yang pasti itu benar, yakni keduanya tidak mengandung kemungkinan lupa, salah atau bahkan keliru, dan tak terbayang pendapatnya akan berubah dengan alasan apapun. Kalaupun diinformasikan pernyataan yang berlawanan dari nabi, misalnya, dengan bukti kesalahan adalah mukjizatnya, hal ini tidak mempengaruhi pendapatnya, melainkan membuatnya menertawakan, membodohkan, mendustakan, dan menyalahkan pembawa informasi atau nabi palsu itu. Jika masih terlintas dibenaknya kemungkinan bahwa Alloh menjadikan nabi-Nya mampu melihat rahasia yang berlawanan dengan pendapat orang itu, putusannya itu bukahlah ilmu yaqini. Ilmu macam ini misalnya ilmu-ilmu a priori, misalnya bahwa sebagian lebih kecil dari keseluruhan, seseorang tidak berada didua tempat pada waktu yang sama, dan hukum-hukum kontradiksi lain, serta ilmu-ilmu yang diperoleh dari bukti-bukti yang menimbulkan keyakinan yang pasti seperti itu, dengan mengatakan zann hanya bisa diakui dalam dunia dan disiplin ilmu praksis amal dan ilmu amali, seperti ilmu fiqih dan ilmu-ilmu empirik-eksperimental tarbiyah, iman keyakinan keagamaan terbagi tiga kelas srecara gradual, yaitu iman awam, yang berdasarkan taqlid murni mengekor/ikut tanpa argument, iman mutakallimin, yaitu didukung oleh semacam argument, dan Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, 43. iman arifin yang memiliki maโrifah, yaitu dengan berdasarkan mukasyafah penyingkapan dan musyahadah penyaksian melalui riyadhah latihan spiritual dan mujahadah perjuangan drajad tasdiq/iman ini diumpamakan dengan tasdiq terhadap adanya si Zaid dirumah. Drajad pertama dicapai berdasarkan taqlid semata kepada orang yang menginformasikan hal itu, yang dipercayai berdasarkan pengalaman bahwa ia benar. Demikian iman awam yang memeluk agama warisan dari orang tua atau guru. Disini muslim sama saja dengan umat Yahudi dan Nashrani dari sudut mempercayai sesuatu tanpa argument. Hanya saja, mereka mempercayai yang salah, sedangkan muslim mempercayai yang benar. Drajat kedua, kita mendengar pembicaraan dan suara si Zaid dari dalam rumah sedangkan kita diluar rumah, sehingga kepercayaan kita lebih kuat ketimbang semata-mata berdasarkan informasi orang lain. Akan tetapi hal ini masih mengandung kemungkinan salah, sebab suara kadang bermiripan, maskipun kita tidak menyadarinya. Drajad ketiga, kita masuk kedalam rumah sehingga menyaksikan si Zaid secara langsung dengan mata kepala sendiri musyahadah. Inilah maโrifah haqiqiyah penyaksian yang meyakinkan, yang mustahil mengandung kemungkinan salah. Drajad inipun gradual, sperti terangnya cahaya, kuatnya konsentrasi dan macam itulah ilmu yaqini yang dicari Al-Ghazali dan menjadi puncak dari filsafat ilmunya, sperti dinyatakan sebagai berikut ๎๎๎๎๎ค๎๎๎ข๎ ๎๎๎๎๎ฒ๎๎ฎ๎ ๎๎ฃ๎๎๎ค๎ง๎๎๎ป๎ญ๎๎๎๎๎ฒ๎ด๎๎ง๎๎ฒ๎๎๎๎ ๎๎๎๎๎๎ฒ๎ซ๎๎ฃ๎๎ข๎ ๎๎๎๎๎๎๎ด๎๎ฃ๎๎๎ ๎๎๎ช๎๎ผ๎๎๎ญ๎ฎ๎ฃ๎ท๎๎๎ช๎ง๎ญ๎๎๎ณ๎ป๎ญ๎๎๎ณ๎ญ๎๎ช๎๎ฃ๎๎ฐ๎๎๎ณ๎ป๎๎๎๎๎ธ๎๎ง๎๎๎ก๎ฎ๎ ๎๎ค๎๎๎๎ช๎จ๎ฃ๎๎๎ธ๎๎จ๎ณ๎๎ฑ๎ฌ๎๎๎ฎ๎ซ๎๎ฒ๎จ๎ด๎๎ด๎๎๎๎ข๎ ๎๎๎๎๎ฅ๎๎๎ฒ๎๎ฎ๎๎๎๎ฅ๎ฎ๎๎ณ๎๎ฅ๎๎๎ฐ๎๎๎จ๎ณ๎๎๎๎จ๎๎๎๎ฆ๎ฃ๎๎ฅ๎๎ฃ๎ท๎๎๎๎๎๎๎๎๎ซ๎๎ฎ๎ณ๎ช๎๎๎๎๎๎ ๎๎๎๎๎๎ด๎๎ณ๎ป๎ญ๎๎ฌ๎ข๎ซ๎ฎ๎๎๎ญ๎๎๎ ๎๎๎๎๎ฅ๎๎๎ฃ๎๎๎ผ๎๎ฃ๎๎ช๎ง๎ผ๎๎๎๎ญ๎๎ฌ๎
๎๎๎๎ฏ๎ช๎ค๎๎ฎ๎๎๎๎ง๎ญ๎๎๎ฃ๎๎ฆ๎ด๎๎ด๎ ๎๎๎๎ง๎ญ๎๎๎ฃ๎๎ฎ๎ ๎ค๎๎๎๎๎ ๎๎ณ๎๎ฆ๎ฃ๎๎๎ง๎๎๎๎๎๎๎ผ๎๎๎๎ญ๎๎๎๎ซ๎ซ๎๎๎๎๎๎๎๎๎๎๎๎๎๎ญ๎๎๎๎๎ผ๎๎๎๎๎ฆ๎ฃ๎๎ฎ๎๎๎๎๎๎ฎ๎ธ๎๎๎๎๎ฅ๎๎๎๎ค๎ ๎๎ซ๎๎๎ฒ๎ง๎๎๎๎๎๎ง๎๎๎ฃ๎๎ญ๎๎๎๎ท๎๎๎๎๎ซ๎๎๎ญ๎ฎ๎ณ๎๎ข๎๎๎๎ท๎๎๎ข๎๎๎ช๎จ๎ฃ๎๎๎๎๎ซ๎๎๎ช๎ซ๎๎ท๎ญ๎๎๎ฌ๎๎ ๎๎ญ๎๎๎ง๎๎๎๎๎๎๎ผ๎๎๎๎๎ฉ๎ฌ๎ซ๎๎๎ ๎๎๎๎ฒ๎ง๎๎๎๎ด๎๎ช๎๎๎ฎ๎๎๎๎๎๎๎ผ๎๎๎๎๎๎๎ป๎๎ป๎๎๎ช๎จ๎ฃ๎๎ช๎๎๎๎ผ๎ค๎ณ๎๎ข๎๎ญ๎๎ฒ๎๎๎ฎ๎๎ฃ๎๎ฐ๎๎๎ช๎๎๎ด๎๎๎๎ค๎ด๎๎๎๎ธ๎๎๎๎ฃ๎๎๎๎๎ช๎ด๎ ๎๎๎ช๎๎ญ๎ช๎๎๎๎ด๎๎ด๎๎๎ฆ๎ฃ๎๎๎ ๎๎๎๎๎๎ฆ๎ฃ๎๎๎ฎ๎จ๎๎๎๎๎ฌ๎ซ๎๎ฐ๎ ๎๎๎ช๎จ๎๎ด๎๎๎๎ป๎ญ๎๎ช๎๎ฎ๎๎๎๎๎ฌ๎ซ๎๎ฐ๎ ๎๎๎ช๎ค๎ ๎๎๎๎ป๎๎ฃ๎๎๎๎๎ฅ๎๎๎๎ค๎ ๎๎๎ข๎๎๎๎ผ๎๎๎ช๎๎ค๎ ๎๎๎ฒ๎จ๎ด๎๎ณ๎๎ข๎ ๎๎๎๎ฒ๎ด๎ ๎๎๎ช๎๎ฃ๎๎ฅ๎๎ฃ๎๎๎ป๎๎ข๎ ๎๎๎๎๎ญ๎๎ช๎๎ฃ๎๎ฅ๎๎ฃ๎๎๎ป๎ญ๎๎ช๎๎๎๎๎๎ป๎๎ข๎ ๎๎๎ฎ๎ฌ๎๎๎ฆ๎ด๎๎ด๎๎ Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, 97. Ibid., 99. Artinya Lalu aku berkata dalam diriku pertama-tama apa yang kucari adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Maka haruslah lebih dahulu mengatahui apa itu hakikat ilmu. Lalu, tampakkah kepadaku bahwa ilmu yaqini adalah sesuatu yang dengannya objek ilmu terbuka dengan keterbukaan yang tidak mengandung keraguan dan kemungkinan salah serta wahm estimasi. Kalbu mimang sulit untuk menentukan hal itu, tetapi rasa aman dari kesalahan harus menyertai keyakinan sedemikian rupa, sehingga kalaupun ia dinyatakan salah oleh seseorang yang mampu mengubah batu menjadi emas, atau mengobah tongkat menjadi ular, misalnya, hal ini tidak menimbulkan sedikitpun keraguan atau kemungkian salah dalam diriku. Sebab, bila aku mengatahui bahwa 10 lebih banyak dari 3, lalu orang lain mengatakan, tidak, melainkan 3 lebih banyak dari 10, dengan bukti bahwa aku bisa mengubah tongkat ini menjadi ular dan kusaksikan memang terbukti demikian, hal itu tidak menggoyahkan maโrifah-ku dan tidak menghasilkan apa-apa dalam diriku selain kekaguman atas kemampuannya mengenai hal itu. Adapun skeptik dalam diriku tidak. Kemudian aku tahu bahwa setiap sesuatu yang tidak aku ketahui dengan cara seperti ini, dan aku tidak meyakininya dengan tingkat kepastian sperti ini, adalah ilmu tak dapat dipengangi dan tidak dapat menimbulkan rasa aman, sedang setiap ilmu yang tidak dapat menimbulkan rasa aman bukanlah ilmu analitik dengan ketiga kereteria ilmu yang diajukan Al-Ghazali di atas sebenarnya merupakan refleksi pemikiran khususnya logika, para filosof sebelumnya sperti Alfarabi dan Ibnu Sina. Dan atas jasa Al-Ghazali-lah metode analitik dan klasifikasi kedalam ilmu, Iโtiqad, zann, syak, wahm lawan zann dan jahl. Menjadi popular dan kokoh dalam kultur keilmuan islami sesudahnya, baik dalam ilmu kalam atau ilmu ushul fiqh dari berbagai mazhab. D. Penutup 1. Kesimpulan Al-Ghazali hidup ketika suasana pemikiran keagamaan dan kefilsafatan di dunia Islam memperlihatkan perkembangan dan keragaman, khususnya mengenai keragaman ilmu pengetahuan. Sejarah hidupnya menunjukan bahwa ia dalam usahanya mencari kebenaran menempuh proses yang panjang dengan mempelajari hampir seluruh sistem dan metode pemikiran pada masanya. Bagi al-Ghazali pengetahuan yang diperoleh melalui akal bisa saja salah karena pengetahuan yang di peroleh akal berhubungan dengan al-hiss dan al-wahm semata. Al-Ghazali menolak teori kausalitas para filosof, tetapi menerima metode demostratif mereka sebagai alat yang penting bagi pencapaian kepastian rasional dalam berbagi ilmu pengetahuan. Al-Ghazali, al-Munqis min al-Dalal, Mesir Maktabah wa Marbaโah, 1952, 10. Bagi al-Ghazali bukan ilmu namanya kalau tidak membawa ketenangan dan kedamaian baik pada dirinya dan pada masyarakat luas. Daftar Pustaka Ghulsyani, Mahdi. The holy Qurโan and the Science of Nature, diterjemahkan Agus Efendi dengan judul Filsafat Sains menurut Al-Qurโan, Bandung Mizan, 1991. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1978. Qasim, Mahmud, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Maโrif, 1997. Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1996. Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988. Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam,Jakarta Bumi Aksara, 1991. A. Husnan Aksa, & Endang Daruni Asdi, Filsuf-Filsuf Dunia dalam Gambar, Yogyakarta Karya Kencana, Cet. I, 1981. Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung CV. Pustaka Setia, 2007. Rusyd, Ibnu. Tahafut al-Tahafut, Bairut Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993. Ali Ibn Ahmad, Ibn Hazm, Al-Ihkam fiUsul al-Ahkam, BairutDar Al-Kutub al-Ilmiyah, Al-Juwaini, Al-Irsyadd. Mesir Matbaโah al-Madani, 1983. Al-Sahbani, Jaโfar. Nazariyyat al-Maโrifah, Bairut al-Dar Al-Islamiyah, 1990. Ariwidodo, Eko. Pradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genitika, ejournal Al-Ghazali, al-Munqis min al-Dalal,Mesir Maktabah wa Marbaโah, 1952. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this holy Qur'an and the Science of Nature, diterjemahkanMahdi GhulsyaniGhulsyani, Mahdi. The holy Qur'an and the Science of Nature, diterjemahkanDirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma'rifMahmud QasimQasim, Mahmud, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma'rif, Beluk Filsafat IslamDkk PoerwantanaPoerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988.
. 4exd4w3nag.pages.dev/9314exd4w3nag.pages.dev/914exd4w3nag.pages.dev/2494exd4w3nag.pages.dev/4544exd4w3nag.pages.dev/5494exd4w3nag.pages.dev/3154exd4w3nag.pages.dev/5164exd4w3nag.pages.dev/1544exd4w3nag.pages.dev/9834exd4w3nag.pages.dev/9634exd4w3nag.pages.dev/4294exd4w3nag.pages.dev/4424exd4w3nag.pages.dev/614exd4w3nag.pages.dev/6464exd4w3nag.pages.dev/852
hakikat kematian menurut imam al ghazali